JazzQual's Adv

Selasa, 07 Oktober 2014

Waktu Itu di Dieng, Wonosobo

Waktu itu,
Saya tidak bisa berjanji ikut ke Wonosobo.
Saya tidak bisa berangkat di hari pertama.
Saya berburu motor dan berburu promo.
Saya masih ragu-ragu untuk ikut serta.



Waktu itu,
Akhirnya pagi-pagi ku bersamanya memilih tiket murah.
Dihadapkan dengan calo-calo yang penuh pemalsuan kata.
Masih bertanya-tanya, "Berangkat kah kita?"
Hilangkan curiga, akhirnya kami tinggalkan Jakarta.



Waktu itu,
Perjalanan terasa tidak berkesudahan.
Menikmati makanan di setiap pemberhentian.
Khawatir akan tertahan lama di jalan.
Kami berangkat di hari setelah Lebaran.



Waktu itu,
Kami sampai di Terminal Wonosobo di terik hari.
Badan letih tapi rasa senang dan tenang di hati.
Udara terasa lebih segar  di sini.
Ku bertualang kini ada yang menemani.



Waktu itu,
Beruntung dan bersyukur kami setiap hari
Disuguhi makan dan minum dari pagi hingga malam hari
Dipinjami kendaraan untuk kami mendaki
Menginap dan merepotkan si Mbah, kami tidak enak hati.


Waktu itu,
Dinginnya Dieng menusuk tulang.
Hampir saya percaya bahwa kami akan menginap di gudang.
Setiap kali sampai di tujuan pasti ada saat kami semua terpisah.
Tantangan jalan yang luar biasa padat bikin pasrah.




Waktu itu,
Semua kami memaksakan diri untuk terbangun jam tiga.
Kami ke puncak Sikunir dengan ribuan manusia lainnya.
Berbaris memancang demi melihat mentari muncul di timur dunia.
Dieng, Negeri di Atas Awan, tempat kami bersama-sama terpesona.



Waktu itu,
Mentari benar-benar sudah di atas kepala.
Terik sinarnya sudah mulai menusuk raga.
Tapi tetap kami bisa menikmati segarnya udara.
Kami masih siap untuk menikmati keindahan lainnya.



Waktu itu,
Kami kembali dari Dieng ke Wonosobo dengan raga letih.
Terasa perjalanan sangat panjang tidak ada akhirnya.
Jalanan yang sangat padat seolah siap membunuh dengan keji.
Tapi kami lega bisa diayomi oleh keluarga besar yang sederhana dan baik hati.



Waktu itu,
Saya sulit percaya bahwa masih ada orang baik di dunia.
Tapi ternyata perbedaan keyakinan bukan menjadi kuncinya.
Sebuah keluarga besar yang sederhana menunjukkan kasih yang luar biasa.
Kami disambut dan diantarkan dengan sangat hangat dan ramah


Waktu itu,
Kami berencana menyudahi liburan dingin kami.
Realita Jakarta sudah menanti dengan pasti.
Tragisnya jalanan karena jembatan Comal runtuh.
Tiga puluh jam di jalan pulang terpaksa harus kami tempuh.

~~~





Demikian sebuah cerita yang waktu itu kami rasakan.
Yang waktu itu kami dari Jakarta ke Wonosobo, Wonosobo ke Dieng, hingga kembali pulang
Yang waktu itu kami menelusuri Telaga Warna, Puncak Sikunir, Candi Arjuna, Kawah Sikidang.
Yang waktu itu disiksa di perjalanan menuju kota Jakarta kami pulang
Yang waktu itu menjalani perjalanan meradang di jalan 30 jam yang panjang.

Yang pasti, waktu itu, kami punya cerita. Cerita untuk diceritakan nanti.



Thanx to:
- Itok Dewa, karena ada itok kita jadi bisa nginap, dimanjain dan dikasi makan sama si Mbah dan keluarga. Mereka semua baik banget.
- Ibu yang punya penginapan di Dieng, karena di dinginnya malam ini kami masih bisa dapat tempat untuk tidur.
- Konco-konco, cucunya Mbah, adiknya Dewak, dan mas nya Dewak karena sudah mau menemani, dan sudah mendengarkan celotehan yang tidak penting dari anak badung kayak saya.
- Thanx to Ocha karena udah nemenin.
- Bang Arman, Ferdi, NatNat, karena sudah ada kesempatan jalan-jalan bareng.


Senin, 22 September 2014

Jogja Adventure - Special Edition

Setelah seminggu sebelumnya melakukan instropeksi diri di sebagian kecil di Negeri Gajah, di kota terbaik untuk para pendosa, kali ini cooling down di Jogja.
Ke Jogja kali ini berbeda, benar-benar berbeda..

This one is special.

My travel experience, this time, in Jogja, has been the turning point of my life.










Rabu, 23 Juli 2014

Rafting Experience @ Arus Liar

Waktu itu,
kami memberanikan diri bermain dengan mara bahaya,, bersama arus yang deras,, bersama bebatuan,, di Arus Liar...

Kami adalah Trees Solutions



















Senin, 07 Juli 2014

Lonely Journey to Singapore and Phuket

Lonely Journey to Phuket 29 May 2014 - 1 June 2014

Day 1th
The first day of my Lonely Journey to Phuket, termasuk hari yang paling menarik selama saya melakukan traveling. Ditambah lagi, ini merupakan pengalaman pertama saya travelling ke luar negeri sendiri. Ya, sendiri. Tidak perlu saya ulangi di bagian SENDIRI-nya ya. Tapi saya tidak menganggap hal itu menyedihkan, sebab saya masih ditemani oleh kamera DSLR Canon EOS 550 D saya yang sudah buluk.

Di hari pertama saya, ada saja kejadian-kejadian aneh yang mewarnai perjalanan saya. Ada kejadian yang aneh, ada kejadian yang mengerikan, ada kejadian yang benar-benar melelahkan, dan banyak lagi.

Mengawinkan EOS 550D dengan Canon 10-22mm milikku, membungkus baju seadanya, merapikan laptop, obat-obatan dan perlengkapan lainnya menjadi penyebab utama saya telat tidur sementara saya harus mengejar pesawat pagi menuju Singapore. Akhirnya, saya putuskan untuk tidak tidur. Ya, agar supaya tidak ketinggalan pesawat lagi.
By the way, ketinggalan pesawat itu rasanya seperti ketiduran di Ujian Nasional, berasa nyesal, sedih, bego dan ditambah kaget luar biasa.

Demi penghematan yang massive dan sistematis serta terstruktur, saya minta diantar oleh adek saya ke bandara dengan menggunakan motor. Ongkos yang saya berikan kepada adek saya sudah saya rapel dengan jasa pijet yang diberikannya kepada saya supaya saya lebih segar bugar. Oh ya, for your information, pada saat mau berangkat saya masih dalam keadaan pusing, diare dan pegal-pegal, oh ya waktu itu batuk pun menyerang saya. Lengkap sudah!

Akhirnya, pagi-pagi benar saya sudah di SHIA (bagi yang tidak gaul, bacanya Soekarno Hatta International Airport) Terminal 3. Dengan mudahnya saya self check-in dan segera menuju waiting room. Singkatnya, akhirnya saya terbang bersama AirASia di hot seat menuju Changi International Ariport.

Ketika akan mendarat di Changi, pesawat yang saya naiki harus melakukan second landing attempt. Beberapa saat sebelum pesawat menyentuh landasan, sang pilot memutuskan untuk tancap gas dan naik lagi. Sedikit deg-deg-an pada saat itu. Saya lupa apa alasan yang dikemukakan sang pilot, yang pasti pilotnya pada saat itu hebat karena mendaratkan pesawatnya dengan sangat mulus.

Bersyukur saya sebelumnya banyak searching mengenai tips jalan-jalan di Singapore dan Phuket. Begitu mendarat di Changi, saya langsung mengambil Railway menuju T2 (Terminal 2) dimana ada MRT menuju kota. Kalau ada teman-teman yang bertanya MRT itu apa, saya males jawab, perhatikan saja mega-project yang sedang berlangsung di Jakarta.
Langsung saya menuju loket untuk membeli Tourist Pass. Kartu ini membolehkan saya untuk naik MRT keliling kota sepuasnya hanya dengan membayar 22 Dolar Singapore sudah termasuk deposit 10 Dolar.
Around town in Singapore is very easy. All systems are integrated very well. But, it looks like shopping in Singapore will be a drain on your wallet.

Masih hari pertama, di negeri Singa.
Saya melakukan banyak hal dengan budget yang terbilang tipis. Naik Singapore River Cruise keliling kota dengan 22 Dolar, Foto-foto di Merlion Park, foto gedung-gedung pencakar langit, keliling MRT sepuasnya, makan murah di Lucky Plaza, ngopi, jalan-jalan di Marina, dan lain-lain, semua hal itu saya lakukan setengah-harian dari jam 8 pagi mendarat sampai ke jam 4 sore menuju keberangkatan saya ke Phuket.

Setelah saya searching tips jalan-jalan di Singapore, saya langsung menggaris-bawahi tempat makan murah, yaitu di Lucky Plaza. Benar saja, di sana ada tempat yang bisa makan dengan harga yang terbilang tidak mahal, setidaknya akan menghemat dolar yang kamu punya. Plaza yang satu ini jika diibaratkan seperti Mal Ambasador atau PGC di Jakarta. Jangan bertanya apakah tempat makannya nyaman atau ramai, sebab Lucky Plaza itu tempat makannya ramai sekali. Setiap orang harus rela antri panjang jika mau makan dan akan sangat beruntung dapat tempat duduk. Saya mengibaratkan tempat makan ini seperti Restaurant Restu di Mediterania Central Park, banyak karyawan makan di sana.


Ketika saya sedang menikmati MRT, saya duduk di depan seorang ibu. Yang aneh adalah, saya melihat ibu itu berbicara sendiri, terlihat ketakutan tanpa sebab, dan saya melihat ibu tersebut melihat ke arah saya dan sedikit waswas kepada saya lalu melihat ke segala arah seolah membicarakan sesuatu kepada seorang/sesuatu yang tak terlihat. Saya benar-benar merasa aneh. Saya berharap ibu itu turun sebelum Terminal 2 Changi, namun nyata nya dia tidak juga turun sesampai nya di T2. Saya langsung berpikir, "Keras hidup di Singapore".

Sesampainya di Changi, ada lagi hal aneh yang terjadi. Kejadian yang satu ini terbilang bisa bikin jantung degdeg-an luar biasa, 'ngos-ngos'an, dan raga letih.
Pasalnya dimulai ketika saya berleha-leha setelah check-in menikmati Dunhill 40 Fine Cut. Saya tidak benar-benar memperhatikan dan tidak mendengarkan Gate berapa yang harus saya datangi ketika sudah waktunya boarding. Saat itu, informasi Boarding Gate di boarding pass saya kosong. Benar saja, saya kewalahan mencari di Gate berapa saya harus boarding hingga memakan waktu yang lama dan kaki terasa sangat letih berjalan dan berlari kecil di sepanjang gedung Changi Airport. For your information guys, Changi Airport itu BESAR dan LUAS banget, jika boleh saya ibaratkan luasnya bak dua sampai tiga kali Mall Kelapa Gading (MKG). Bayangkan saja anda berlarian dengan kekhawatiran yang luar biasa di Changi Airport, hingga akhirnya saya bertanya kepada petugas di sana dan mereka memberikan jawaban yang semakin meng-khawatirkan, "Your gate is F22, you need to move fast, the gate is closing, you only have 5 minutes."
Ibarat bangun kesiangan di saat final job interview, and the job mean the world to you,, itulah yang saya rasakan. Rasa pasrah, takut, lelah di badan, sakit di bahu dan kaki, sesak nafas bercampur menjadi satu. Saya berlari menuju gate F22 dengan nafas yang sesak. Bahkan di saat saya sudah terlambat, di saat saya berlari dengan beban yang tidak ringan, saya masih juga tersesat.

Luar biasa hari itu, akhirnya saya sampai di F22 dengan nafas yang terengah-engah, saya hampir tidak bisa bernafas lagi saat itu. Disiplin Changi Airport memaksa saya untuk tetap melalui body scan, bag check yang bertele-tele walaupun pesawat hendak off. "Easy, you still have time, they'll wait for you" kata-kata petugas melegakan hati saya. Terlihat penumpang lainnya di pesawat melihat saya dengan wajah tidak mengenakkan. Akhirnya saya take off bersama Tiger Air menuju Phuket, lalu saya langsung memesan cold soft drink untuk merayakan hari yang melelahkan ini.

Pesawat mendarat di bandara Phuket. Berhubung bandara ini terlihat sederhana, tidak terlihat ada yang istimewa, tanpa pikir panjang saya langsung keluar mencari taksi menuju Patong City in Phuket Island, a good place in Phuket for sinner man. Begitu mendapatkan taksi menuju Patong, saya langsung ditodong angka 800 Bath. Saya berpikir panjang untuk menggunakan jasa taksi itu karena di kepala saya jurnal credit debit terkalkulasi agak berat. Banyak berpikir, menahan diri, banyak tanya, akhirnya supir taksi tersebut pasrah, dia langsung menawarkan untuk gabung dengan penumpang lain yang ingin perjalanannya ke Patong murah. Ya, ternyata ada sepasang wanita yang tidak keberatan 'kongsi' dengan saya satu taksi ke Patong. Seketika jurnal pembebanan di kepala saya menjadi ringan, dibagi 3.

Mengenai tulisan di paragraf sebelumnya, "sepasang wanita", anda tidak salah baca dan saya tidak salah tulis. Mereka benar-benar sepasang wanita. Satu lagi pengalaman aneh sekaligus menggelikan di hari pertama saya, sebelum menutup hari pertama. Di sepanjang perjalan yang menghabiskan kira-kira 1 jam perjalanan menuju Patong, pasangan ini bersenda-gurau, saling mengelitik, saling menggoda, singkatnya mereka bermesraan. Parahnya, saya menyaksikan tingkah genit mereka dengan telinga saya.

What a day!

Finally, saya tergeletak di tempat tidur super nyaman di hotel saya di Patong. Lets, sleep!


Day 2th
     Silau mentari membuat lupa akan rasa letih,
     Aku siap punya cerita lagi,
     Bangun pagi, tak lupa minum kopi,
     Ke Phuket ku lari, saat itu ku masih sendiri.


Ya, hari kedua my lonely journey to Phuket, saya terbangun dengan segudang rencana untuk mengarungi pulau ini.
Saya langsung rental motor yang kebetulan hotel tempat saya menginap menyediakan rental motor. Motor yang saya pakai mirip dengan Honda Vario. Motor yang asyik untuk digunakan bertualang di Phuket.


Saya langsung tancap gas menyusuri pinggir Phuket Island. Tak lupa saya bawa 'kekasih' sejati saya saat itu, kombinasi Canon EOS 550D dan Super Wide Lens Canon 10-22mm USM. Sepertinya Prime Lens saya Canon 50mm f/1.4 saya sudah mulai cemburu, karena sudah mulai jarang saya pakai.

Banyak saya temui pantai-pantai yang bagus. Pantainya sepi. Saya menikmati pantai tersebut seolah hanya milik saya sendiri. Saya menjalani hampir seluruh pantai yang ada di barat Phuket Island dengan motor sewaan. Sesekali saya berhenti untuk mengambil gambar dan juga selfie. Oh ya, saya tidak suka selfie, namun di titik ini, dimana saya traveling hanya sendiri, saya harus selfie, atas nama dokumentasi.

Saya memacu motor sewaan saya yang berwarna coklat hitam itu dari Patong menyusuri bagian barat Phuket Island mengarah ke utara. Saya bertualang ke Kamala Beach, Laem Sing Beach, Surin Beach, dan Pansea Beach. Yang paling asyik bagi saya adalah Laem Sing Beach karena saat itu (kebetulan) sepi, pemandangan dari atas dan dari pantainya paling bagus menurut saya.

Lalu, saya kembali menuju Patong melewati jalan yang sama. Menurut saya, tidak mungkin untuk meneruskan perjalanan menuju utara, karena saya khawatir akan keluar pulau Phuket dan tersesat. Saya bertualang ke arah selatan menuju Karon Beach & Kata Beach. Jalanan yang bagus, cuaca yang sejuk, pemandangan yang bagus, dan hasrat saya berjalan-jalan membuat saya tidak keberatan mengendarai motor seharian mengelilingi Phuket.

I did a lot of 'jepret', hunting, walking at the beach, lot of thinking, and instropection. Traveling help me relieve myself.
Pada titik ini saya merasa harus bisa bangkit, bangkit yang benar-benar bangkit. Saya harus berhenti 'protes'. Hidup saya sudah terlanjur berubah dan liar, but at least ke depannya hidup saya jangan jadi lebih 'gelap'. Life is unfair, but semuanya itu tidak akan berubah, kita hanya dan harus bisa move on!
Ahhh,, sudah lah! Jangan sampai cerita ini jadi basi. Tapi itu lah sekilas yang ada di pikiran saya ketika menikmati lonely journey saya.

Di perjalan saya mengarungi pantai-pantai Phuket, saya kehujanan. Damn, aku harus berteduh, kalau tidak 'kekasih' sejati saya malah rusak. Akhirnya saya berteduh, di gubuk di pinggir jalan. Gubuk itu adalah bangunan rusak tak terpakai yang terletak di pinggir jalan lintas penggunungan pinggir pulau. Dari sini kelihatan pemandangan lautan. So freaking wonderful!

Akhirnya, pagi ke siang, siang ke sore, hari mulai terlewati, saya lapar. Karena sudah lapar dan tidak mau terkena efek coba-coba, saya mampir ke McDonald ala Thailand di Patong. Ya, sudah pasti saya memesan makanan Pork Burgernya. Seandainya produk ini dijual di McDonald Indonesia.


     Malam sudah tiba.
     Ingin rasanya aku tetap di hari kedua.
     Patong, kotanya godaan dunia.
     Para pendosa tak sabar ingin berdansa.


Ya, kalau anda bertanya, "elu pasti ke Bangla Road kan?! Ngaku lu!"
Tanpa malu-malu saya bakal jawab, "Ya iya lah! Buat apa ke Phuket kalau gak ke Bangla!"

Saya tidak ingin melewatkan hari terlalu cepat, saya jalan-jalan ke Bangla Road. Tidak jauh dari hotel saya. Bangla Road ini ibarat Kemang kalau di Jakarta, ibarat Legian kalau di Bali, ibarat Malioboro kalau di Jogja, namun lebih 'hitam' dan lebih gemerlap.
Ya, tidak perlu terlalu detail saya ceritakan Bangla Road ini apa dan bagaimana. Saya khawatir anda tidak bisa dan tidak sanggup mencernanya.

Oh iya, saya hampir lupa cerita, sebelum ke Bangla Road untuk melihat yang aneh-aneh, saya jalan ke pasar malam di depan Jungceylon Mall Phuket. Di sana saya jajan panggang-panggang seafood ala Thailand lalu saya mampir ke Tour Agent yang berbaris di pinggiran. Syukurnya saya masih rajin mengarungi semua opsi tour agent yang ada sehingga saya bisa mendapat paket tour keliling 3 pulau kecil 7 spot dengan harga terbaik. Saya merogoh kocek sejumlah 1300 Bath bertualang mengarungi lautan Phuket.

Paket tersebut sudah termasuk transportasi antar-jemput dari hotel, makan siang, kopi dan snack. Hari ke-3 akan menjadi hari yang panjang penuh pemandangan.

Tips buat kawan-kawan semua kalau memilih Tour Agent untuk menikmati wisata laut: jalani, lihat, tanya-tanya, dan tawar semua pilihan tour agent. Bersabarlah. Karena, banyak di antara mereka akan memberikan harga 2 bahkan 3 kali lipat. Kalau bisa, kamu sekalian book-nya langsung, jangan pakai perantara seperti Tour Agent, pasti akan lebih murah.


Day 3rd
Tibalah saya di hari ketiga di Phuket Island, hari dimana saya akan menikmati lautan dan pulau-pulau indah, basah-basahan di lautan yang jernih bersama ikan-ikan di lautan Phi Phi Island.
Di malam hari kedua, di dekat Jungceylon Mall, saya sudah membeli paket tour.
Pagi-pagi saya sudah dijemput di hotel dan berangkat menuju pier point bersama bule-bule lain. Sampai di Pier Point yang mana saya lupa nama tempat/pantainya, mohon pemakluman atas kemampuan mengingat saya. Saya dan wisatawan lainnya menikmati snack berupa makanan ringan dan kopi atau teh. Perlu saya katakan, rasa kopi dan snacknya tidak enak, tapi yasudahlah ya.

Ada yang agak menggelitik terkait penamaan di negeri gajah ini, termasuk nama kapal cepat yang akan kami gunakan untuk menikmati lautan. Nama kapal cepat yang kami gunakan adalah 'Porn Pan', dalam hati saya ,"Panci Porno gitu?!". Saya jadi ingat bahwa di project saya sekarang ini, ada konsultan asing dari Thailand yang mengurusi aplikasi timbangan, she is Duangporn. Mungkin 'porn' bermakna yang dalam bagi mereka.

Dari pier point kami berangkat dengan menggunakan Porn Pan, tidak lama kami sudah disuguhi oleh pemandangan air laut yang hijau dan jernih. Kami mendarat di Maya Beach, pantai dimana film "The Beach"-nya Lenardo DiCaprio dibuat. Terlihat pemandangan tebing-tebing tinggi bewarna hijau penuh tumbuhan, air laut berwarna hijau muda dan pasir yang bewarna putih menyegarkan pikiran. Saya sangat menikmati Maya Beach ini. Kami diberi waktu berfoto-ria, keliling-keliling. Di sini saya ngobrol dengan orang Pakistan dan berbagi rokok.

Lalu, sekitar jam 11.00, kami melanjutkan tour mengelilingi Phi Phi Island, kami singgah di Monkey Beach untuk melihat-lihat. Ya, sesuai namanya, banyak sekali monyet di pantai itu. Lalu, tidak mengambil waktu lama, kami melanjutkan berlayar menuju Viking Cave. Viking Cave ini tempat dilestarikannya burung walet. Tour guide kami bercerita bahwa air kencing burung walet tersebut sangat berguna, terutama untuk keperkasaan lelaki. Sayangnya, harganya sangat mahal.

Lalu kami melanjutkan perjalanan ke Phi Phi Don. Di sini kami menikmati makan siang yang telah disediakan penyedia tour. Mengenai rasa makanan yang dihidangkan, jujur, rasanya tidak enak. Sekali lagi, rasa kopi yang mereka sediakan benar-benar tidak enak. Kopi sachet Kapal Api masih jauh lebih enak dibanding kopi rasa pasir itu. Ya, karena perut saya yang penuh lemak ini sudah keroncongan, maka saya makan dengan lahap makanan itu sampai kekenyangan.

Phi Phi Don ini sepertinya tempat dikumpulkannya semua wisatawan yang ikut paket tour untuk makan siang. Oh iya, selama perjalanan mengelilingi Phi Phi Island ini, saya ada teman baru dari England, namanya Pisa (saya dengarnya demikian, saya juga kurang paham kenapa namanya begitu dan bagaimana menulis namanya yang benar). Pisa bekerja di England, di pangkalan militer untuk menguji semua persenjataan militer Inggris. Mendengar ceritanya, saya merasa takjub, what a cool job it is!!!

Pisa pada saat itu nasibnya seperti saya, dia juga travelling sendirian. Kami berdua merasakan apa yang dikatakan John Mayer dalam lagunya, "Perfectly Lonely".

After enjoying lunch, we continued our journey. Kami menikmati snorkelling di Loh Samah Bay. Airnya jernih, ikannya sangat banyak berwarna-warni, pemandangan sekitar juga luar biasa. Sebelum membasahi tubuh saya untuk berenang bersama ikan-ikan kecil, saya memuaskan diri untuk mengabadikan pemandangan yang luar biasa pada saat itu. Lalu, setelah puas mengambil gambar, tanpa alat-alat snorkelling yang lengkap, saya langsung melompat ke laut. Saya hanya menggunakan kacamata snorkelling, itu memang kebiasaan saya kalau sedang main-main di laut. Semakin sedikit saya menggunakan peralatan, semakin saya menikmati lautan. Pada saat itu, saya langsung akrab dengan Pisa, kami gantian mengambil foto.
Heii! We're not gay! Dont even try to think about it!

















Akhirnya, setelah puas ber-snorkelling-ria, kami melanjutkan wisata bahari kami. Kami lanjut berlayar menuju Khai Nok Island. Yes, the best part at the last. Saya paling suka di sesi terakhir ini. Di sini, kami dijamu dengan buah-buahan dan soft drink. Pasir, air laut, pemandangan di Khai Nok ini pun sangat bagus. Saya menikmati lagu-lagu Bob Marley di warung bir di pinggir pantai, musik reggae-nya sangat pas dengan suasana pantai yang santi. Saya menyanyikan hampir semua lagu Bob Marley, ditambah bunyi-bunyi desiran ombak yang menenangkan.

Yeah Brother, "No Woman No Cry"



Akhirnya, kulit asli menghitam terbakar matahari, suasana sore mulai datang, puas menjadi anak pantai, akhirnya kami pulang ke pier point. Perjalanan yang paling membosankan adalah perjalanan dari Khai Nok ke pier point yang memakan waktu lebih dari 2 jam. Semua sudah lemas. Kami dianter ke hotel masing-masing.
I do really enjoy the trip. Pada saat, terpikir oleh saya, "I wish someone here with me".

Yasudahlah dot com, one day!













































Sampai di hotel, saya menyegarkan diri dengan mandi dan langsung beristirahat, tidak lupa saya langsung mengedit foto. Ya, betul, editan foto saya penting demi kelancaran publikasi di Instagram dan Path.


Malam terakhir di Phuket,
Saya tidak mau menyia-nyiakan malam ini, saya ke Bangla Road lagi. Good place for sinners.
Di sini saya menikmati minuman yang menghangatkan badan dan suasana. Sama halnya seperti yang telah banyak diceritakan, dunia di sini gelap. Kita harus hati hati. Pada saat saya minum dan menikmati hiruk pikuk, dentuman club music, serta 'keanehan-keanehan' di situ, beberapa wanita menghampiri saya dan menggoda saya. Polanya, mereka pasti mengajak kita main game, lalu tidak lama mereka akan mendekatkan raganya and then start to flirt you. Mereka pasti akan meminta anda untuk membelikannya minuman, yang mana harga minuman mereka sudah pasti lebih mahal dari minuman yang kita minum, walaupun itu minuman yang sama. Rayuan gombal justru bukan dari mulut lelaki, gombal-gombal aneh mereka keluarkan demi mendapat minuman. Satu kali, saya dihampiri seorang (mungkin) wanita, yang rajin menggoda saya. Mukanya lebih cantik daripada wanita-wanita lain yang tanpa menggunakan predikat 'mungkin'. Mendengar suaranya yang familiar dengan yang sering ada di salon-salon, suara yang berat, saya langsung ragu bahwa dia asli wanita. Oh damn, they messed my mood that night. Selera minum saya langsung hilang. Lantas saya langsung pindah untuk melihat-lihat tempat yang lebih baik.

Di sepanjang Bangla Road, banyak sekali hiburan-hiburan aneh yang mungkin akan membuat orang awam mengangak terheran-heran sekaligus jijik. Di jalanan banyak sekali penjajah wisata tubuh, 'hermaprodite' penggoda yang menawarkan foto bareng, kecupan hingga memperbolehkan memegang bagian tubuhnya, dan calo-calo hiburan gelap.

Saya mendapat banyak sekali tawaran dari calo-calo hiburan malam Bangla Road. Polanya mereka akan menawarkan 'Free Entry' dan '10 minutes free for observe/explore'. Mereka itu umumnya menawarkan hiburan Pingpong Show, Tiger Show, and Strip Club. Kalau anda membawa anak-anak anda mengunjungi hiburan-hiburan itu, saya ragu otak anda masih sehat atau tidak.
Menanggapi tawaran '10 minutes free' mereka, karena rasa penasaran, saya langsung ada ide untuk menggunakan 10 minutes yang mereka tawarkan. Ya, anda bisa menebaknya, setelah 10 menit, saya langsung bilang bahwa saya tidak suka, and then go to other place for another '10 minutes'. Alhasil, saya pernah memasuki semua secret night entertaiment mereka tanpa harus mengeluarkan banyak Bath. Tak jarang mereka memaksa kita untuk stay dan menikmati hiburan mereka dengan cara memeluk, meraba hingga menggoda. Kalau anda tidak tahan, bersiaplah untuk diperah bak sapi perah.

Hasil observasi '10 minutes' saya, Bangla Road is trully the best place for sinners. Kalau anda memang menyediakan Bath untuk dibuang-buang, silahkan.
Masih penasaran apa itu PingPong Show, Tiger Show, Strip Club dan lain-lainnya, googling saja ya. Sepertinya saya sudah terlalu jauh ceritanya.

Tips buat anda yang ingin menjelajahi Bangla Road:
  1. Jangan turuti apa yang ditawarkan calo, karena jika anda mau stay (deal) di satu tempat yang ditawarkan calo, maka anda akan diberi harga minuman yang jauh lebih mahal oleh pihak club. Kalau anda tetap ingin berkunjung ke tempat itu, lebih baik datang sendiri.
  2. Jangan terlalu cepat terpesona dengan kecantikan wanita Thailand, mungkin ketika siang hari mereka berubah menjadi abang-abang
  3. Jangan terpancing untuk membelikan 'Lady Drink' minuman. Selain harganya lebih mahal, mereka minumnya pasti akan lebih banyak dari anda. Lagipula, anda tidak ada keharusan untuk membelikan mereka minuman. Bangla Road adalah tempat terbaik untuk menguras dompet tourist.
  4. Tidak perlu penasaran dengan 'hermaprodite' dengan pakaian yang luar biasa dan terlihat sangat baik kepada anda, they only care to take all of your money.
  5. Play safe guys!

Ah sudahlah, enough with all this nonsense!


Day 4th
Each day in my lonely freaking journey, selalu ada pengalaman gila terjadi.
Kali ini, di hari terakhir, sesuatu yang benar-benar gila terjadi, sangking gila nya, nyawaku hampir melayang.Saya diantar ke bandara oleh adek yang punya hotel, adeknya cewek. Dan, sepertinya diantar dengan menggunakan mobil pribadi. Dugaan saya, si empunya hotel pasti tidak rela uang taksi yang akan saya keluarkan ke supir taksi lain, better for her to take the chance.

Keanehan mulai terjadi ketika mobil yang akan digunakan mengantar saya, ban belakang kiri nya bocor (bukan kurang angin), dan adeknya memaksakan untuk berangkat. Dalam perjalanan berangkat ke bandara dia mencari tukang isi angin.

Jarum speedometer menunjukkan angka yang tidak kurang dari dari 80Km/Jam. Di jalan menuju bandara yang kira 10 menit lagi jauhnya, bunyi-bunyi aneh sudah mulai bermunculan dari mobil, ibarat bunyi mobil melindas balok kayu atau bunyi batu atau kayu di bawah kolong mobil.

Benar saja,
saya melihat, tiba-tiba, tangan Amy, adek yang punya hotel, banting stir ke kiri seolah melawan arah ke kanan. Ya, seperti yang kita lihat di movie, mobil mulai zig-zag, ngepot kiri ngepot kanan, lalu berhenti mendadak melintang di tengah jalan protokol yang sepi.
Di dalam mobil yang sedang zig-zag ngepot kiri-kanan itu, badan saya serasa diaduk-aduk, bak menaiki wahana pontang-pontang di Dufan. Sempat kepala saya berasa pusing. Mobil yang saya naiki sempat berputar horizontal sekitar 2 kali.
"Shit!!! I'm gonna die", itu lah yang aku pikirkan.

Saya melihat keluar, ke ban belakang kiri, saya lihat bannya sudah rusak total, tapi masih bisa diganti. Langsung saya menyuruh dia untuk meminggirkan mobilnya, sebelum ditabrak mobil lain dari belakang.

Thanx God, jalanan tidak kasar, kalau tidak, kami sudah terguling-guling bak kambing guling.
Thanx God, di belakang kami tidak ada mobil dan atau bus dan truck yang sedang melaju kencang, kalau tidak,, silahkan pembaca improvisasi sendiri, saya tidak mau lanjutin!
Akhirnya, saya sebagai tourist, saya sebagai tamu hotel, saya sebagai kastemer yang sedang diantar ke bandara,, saya yang mengganti ban mobilnya dengan cepat dan cekatan bak tukang tambal ban yang hanya melakukannya selama kurang dari 10 menit. Syukurnya peralatan saat itu terbilang lengkap. Untuk melakukan itu, saya tidak pakai pikir berkali-kali, tidak memikirkan gengsi, saya hanya ingin cepat-cepat melewati hari yang hampir saja membuat saya mati. Tangan saya kotor, keringat bercucuran saat menggantikan ban tersebut. Bahkan dengan ikhlasnya saya mengajarkan bagaimana cara mengganti ban mobil kepada Amy.

"Thank you so much Josep, Thank you!!! oh My God!!! I'm so sorry, so sorry,, next time you go back to Phuket, I promise to give you 1 day free lah in hotel...", itu lah yang dikatakan Amy berulang-ulang kepada saya.

Jujur, saya tidak perduli dengan tawaran dia tentang next hotel gratis, but at least itikat Amy sudah baik dari caranya meminta maaf.


Saya benar-benar bersyukur banyak pengalaman yang saya rasakan di Lonely Journey saya ini. Mulai dari pengalaman aneh, seru, menjijikkan hingga pengalaman mengerikan saya rasakan hingga saya punya cerita. Di sini lah nikmatnya jalan-jalan. Jalan-jalan membuat kamu punya cerita untuk orang-orang di sekitar kamu juga untuk dirimu sendiri. Jalan-jalan membantu kamu untuk berpikir lebih dalam mengenai dirimu sendiri.


Travelling can be one of the most rewarding forms of instrospection.

Teman-teman yang ingin jalan-jalan, ajak-ajak saya ya! Kalau bisa request, yok ke Indonesia Timur!






























original story and photoshoot
by: @Josep_JazzQual







Powered By Blogger