Dunia begitu indah!!!
Mari menikmatinya...
Mau senyum-senyum sambil
mengemudi? Berkendaraanlah di Bali.
Mau berkendaraan di tempat yang
paling rapih dan tidak pakai marah-marah? Berkendaraanlah di Surabaya.
Mau mengemudi sambil sambil
dengar 2 CD musik sampai habis sekali jalan? Mau tua di jalan? Berkendaraanlah
di Jakarta.
Mau mengemudi hanya dengan gigi 1
dan maximum gigi 2? Berkendaraanlah di Bandung dari Jumat sore sampai Minggu
sore.
Nah,,, Mau uji nyali? Mau
berantem? Mau melatih emosi dan kesabaran? Berkendaraanlah di Medan. Ya, hanya
di Medan tempat skill dan emosi nyetir diuji.
Ya, saya rasa pengantar di atas
setidaknya sudah sangat dekat dengan “BENAR BANGET”.
Saya (setidaknya) sudah banyak
merasakan banyak dan bermacam pengalaman merasakan jalanan di beberapa kota di
Indonesia. Bali, Surabaya, Malang, Madura, Jakarta, Bandung dan Medan, serta
kota kecil Sumatera Utara. Tapi, hanya Medan yang bisa memunculkan sisi gelap
saya yang paling gelap dalam berkendaraan.
Mungkin orang yang telah mengenal
saya lalu melihat tingkah saya berkendaraan di Medan, mungkin mereka bakal
takut dan ngeri. (itu bukan pujian)
^_^
Sampai saat ini, walau baru
sekali ke sana, saya tetap cinta Bali!
Saya pernah merasakan mengemudi di Bali, walau hanya seminggu, yang
saya rasakan hanya ‘musim semi’ yang indah, hari yang cerah, ditambah senyuman.
Tidak ada keluhan berkendaraan di Bali. Memang Bali hebat. Selain siap dan
sigap dalam hal service, pariwisata,
keramahan, Bali juga siap dari sisi transportasi. (Tau kah anda???) Di Bali
bisa dibilang hampir tidak ada
angkot dan becak. Saya hanya pernah melihat angkot di Sukawati. Mungkin karena beberapa alasan tersebut Bali menjadi pilihan pariwisata paling TOP. Bahkan yang katanya walau Lombok lebih indah, Bali tetap nomor 1.
Yang kita
rasakan bila kita berkendaraan di Bali ialah rapih, jauh dari macet (hanya
beberapa titik contohnya Legian), musik daerah dengan indah hilang timbul, unik
dan indah di kiri kanan. Aduh, maafkan saya jika saya terlihat sok tau, tapi
setidaknya itulah yang saya rasakan.
Bagaimana dengan keadaan
jalanan Surabaya?
Di Surabaya saya tercengang
melihat betapa rapihnya kota Surabaya. Sewaktu saya ke Surabaya bersama
teman-teman saya, saya berpikir bahwa Surbaya bakal mirip keadaannya dengan
Medan. Ternyata eh ternyata, jauh!
Surabaya dilihat dari keadaan jalan dan kendaraan-kendaraan yang melaju di
atasnya, kota ini sangat rapih dan teratur. Sewaktu saya melihat tingkah
pengemudi motor di Surabaya, saya bahkan hampir tidak bisa mempercayainya. Saya
melihat dan menyaksikan peristiwa yang bagi saya sangat langka, semua motor
berada pada lajur kiri dan hampir tidak ada yang melewati garis ketika tiba di traffic light. Semua orang di Surabaya
benar-benar niat dalam hal mematuhi peraturan dan rambu lalu lintas. Setiap
orang sepertinya sadar untuk mamtuhi setiap rambu lalu lintas walaupun tidak di
setiap tikungan polisi ada. Memang, masih ada keadaan dimana jalan padat merayap,
tapi kebanyakan jalan lancar. Ditambah lagi, keadaan kota dari segi bangunan di
Surabaya juga sangat rapih dan bersih dengan bangunan yang besar-besar, jalanan
rata dan bersih, dan jalanan kota sangat lebar. Sungguh jauh dari Medan!
Sungguh!
Jakarta?! Anda bertanya
mengenai keadaan jalanan di Jakarta??? (seriously?!)
..hehe..
Jakarta itu tidak pernah sepi! Jakarta itu sibuk! Jakarta itu
peraturan! Jakarta itu rush and hush!
Jakarta itu besar!
Semua orang mengatahui bahwa Jakarta itu terkenal dengan kemacetannya.
Bahkan, sangking seriusnya masalah ini, beberapa waktu yang lalu, beberapa
stasiun televisi mengulasnya dan memaparkan bahwa jika kemacetan tidak
ditanggulangi, maka pada tahun 2015 akan terjadi kemacetan total di seluruh
Jakarta berdasarkan data mereka sendiri. Banyak istilah mengatakan ‘di Jakarta
tua di jalan’. Jakarta semua orang
mengendarai kendaraannya seperti terburu-buru, walau macet, sepertinya
tidak banyak halangan ketika melaju. Semua seperti memiliki kecepatan dan
kepentingan yang sama (kecuali
mikrolet dan bis kota). Jika anda mau cepat mengemudi di Jakarta, anda harus
pelajari jalan tikus dan pelajari cara
melanggar jalur busway paling pintar.
Tapi, mengenai kondisi mental
ketika mengemudi di ibu kota negara ini tidaklah separah di Medan yang nantinya
akan saya ceritakan. (setidaknya itu menurut saya orang Medan yang merantau ke Pulau Jawa).
Bandung euy!
Sebenarnya biasa saja, tapi, pengalaman saya yang paling saya ingat
mengemudi di Bandung ialah ketika saya harus datang ke kumpul-kumpul keluarga
di Dago, dekat Hotel Sheraton. Saya berangkat sore gelap sekitar jam 5 lewat dari Bojongsoang (IT
Telkom), pada waktu itu hari Sabtu, saya sampai di Dago malam jam 9 kurang. Can you believe that??! Percaya atau
tidak, saya mengemudi mobil hanya dengan gigi 1 dan maximum gigi 2 hampir di
sepanjang perjalanan. (What the hell!!?)
Yang mau saya bilang ialah,
Bandung menjadi penampungan
orang-orang yang lapar dan haus (hiburan) ketika akhir minggu atau libur.
Akibatnya??? Jawab sendiri.
Medan, oh Medan.., kota
kelahiranku!
Pernah saya dengar teman-teman dan keluarga saya bercanda (ntah itu
sekaligus memuji), ketika saya berhasil menyalib banyak mobil, mengatasi
kemacetan, ngebut, nantangin orang di jalan, lalu mereka rata-rata ngomong
gini, “ini dia supir Medan”.
Ternyata frase itu sepertinya sudah menjadi kebenaran umum. Kenapa begitu?
Mungkin.., (mungkin nih ya,, maaf kalau saya sok tau) karena memang supir
Medan/Batak itu sadis-sadis bawa mobil atau bus. Saya memperhatikan bahwa
sebagian besar supir mikrolet, supir metromini, dan bis kota (terutama yang
sadis-sadis itu, ..hehe..) adalah orang Medan, atau Batak, atau yang asalnya dari Medan,
atau gak jauh-jauh dari Medan dan Batak.
Lalu, anda mungkin bertanya "kenapa harus Batak?" Saya mencoba menjawab,
karena Batak banyak berasal dari Medan, Sumatra Utara.
Tau kah anda? Di banyak tempat dan titik di Medan, anda tidak bisa
menyalahkan orang yang melanggar peraturan dan rambu, karena menurut mereka tindakannya itu benar dan mereka akan balik
menyalahkan anda.
Ippho Santosa, motivator dan marketer
otak kanan, sewaktu berkunjung
ke Medan, ia menulis di bukunya dengan nada yang serupa mengenai jalanan Medan selain
bahwa orang Medan itu kasar-kasar.
Di Medan, nyali dan emosi anda dalam berkendaraan diuji benar-benar.
Banyak sekali pelanggaran peraturan dan rambu-rambu lalu lintas di kota ini.
Mulai dari menorobos lampu merah, lampu, helm, bahkan melawan arus. Pernah saya
lihat mobil bahkan melawan arus dengan tenang di persimpangan traffic light. Pada saat itu di tangan
saya ada kamera Canon EOS 550D punya saya, lantas saya langsung jepret itu
mobil. Setelah saya perhatikan plat nomor polisinya, ternyata mobil itu ada sticker berbintang merah hijau.
(artikan sendiri aja ya..).
|
Minggir! Lihat nih sticker gue!!! |
|
Plat B coiii! |
Di Medan,
anda akan sangat sulit menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah, karena
yang salah pasti akan merasa benar dan yang benar akan diusahakan salah oleh
yang merasa disalahkan oleh si peng-claim
diri benar. BINGUNG kan? Jujur saya juga bingung bacanya.
Di Medan masih sangat terasa premanisme apalagi yang berselimutkan label
organisasi masyarakat dengan baju loreng-loreng baik biru, merah atau jingga.
Syukurnya, di Medan tidak eksis organisasi sok suci berkostum sok rohani, yang
teriak lantang isi kitab suci, tapi obrak abrik sana sini, pukul orang-orang,
serta bakar rumah adat. (mohon maaf, integrasi opini dan amarah numpang lewat).
Di Medan, ntah kenapa, Pak Polisi Lalu Lintas rajin sekali tilang
orang di simpang traffic light tapi tidak rajin mencegah terjadinya
pelanggaran itu. (setidaknya ini pendapat saya). Saya pernah melihat peristiwa
dimana polisi berdiri agak di sudut di seberang jalan (mirip sembunyi) lalu
tiba-tiba muncul/keluar karena ada mobil yang melanggar. Waduh, kalau ibarat kata, 'menunggu
umpan dimakan'. Selanjutnya, saya perhatikan, Pak Polisi cenderung lebih
segan dengan sticker berbintang yang ditempel di plat nomor polisi. Excuse me, ini pendapat dan hasil
pengamatan saya lho.
“halo Pak, cegah donk! Diperingatkan terus donk!”
Di Medan, banyak sekali pemuda-pemuda baik yang punya SIM atau tidak,
baik 18 tahun ke atas atau ke bawah, yang sok jago, sok keren dengan suara
knalpot yang berisik dan tidak bermerek. Mereka kebanyakan pengguna motor bebek
tanpa helm dengan knalpot kaleng yang bikin sakit telinga. Mereka ngebut sana
ngebut sini berharap bisa masuk kejuaran Moto GP. (Mending punya asuransi jiwa,
ya gak bro?!). Coba perhatikan, pengguna motor gede yang mahal tingkahnya gak
gitu. Walaupun motor kelas kakap mereka suara knalpotnya (bermerek) tebal dan
besar, tapi lebih enak di telinga. “Pak
Polisi, tolong (mohon banget) tangkap genk motor kampung yang buat
onar dan tidak punya izin itu!”.
"Bagi pengendara motor bebek dengan knalpot berisik dan cempreng yang lagi baca ini, maaf ya... maaf banget menyinggung kekampungan kalian.
Saya mengerti kok kalian lagi cari jati diri,, So, hati-hati di jalan ya.."
Di Medan banyak sekali becak,
banyak sekali, yaa,, banyak!!!. (‘Kenapa gitu nulisnya?’ anda mungkin
bertanya). Becak (dayung ataupun motor) di Medan sudah seperti raja di jalan.
Serius! Menangani hal ini, saya sering melakukan tindakan menantang dan
tindakan yang menyulut emosi. Menurut
saya pribadi, cuma itu caranya. Pasalnya, mereka jalan sangat lambat
bahkan di jalan besar yang saya yakin dimana banyak orang sedang ‘rush’. Tidak jarang becak ini tidak mau mendengar klakson, malah
semakin ke tengah, sehingga membuat orang terkena lampu merah (seharusnya tidak
kena), dan sering membuat orang terlambat. Di simpang lampu traffic light yang paling sering
melanggar selain motor dan angkot ialah becak baik bermotor ataupun tidak. Coba bayangkan di Jakarta, di jalanannya masih
banyak becak seperti di Medan, MAMPUS
KITA!
Setuju??! kalau gak setuju berarti anda pengendara becak... hehehe ^_^
Angkot? Nah, ini dia! Bagi mereka supir angkot Medan, tidaklah masalah
bergerak dari jalur paling kanan ke paling kiri memotong dan menghentikan arus
jalanan. Melanggar lampur merah ialah hobby
sekaligus kewajiban supir angkot. Mereka juga hobby menutupi arus ‘kiri langsung’ atau ‘kiri jalan terus’.
Tindakan supir angkot Medan dengan angkot/mikrolet di Jakarta hampir serupa.
(ya iya lah, wong ras nya sama,, hehe). Bagaikan peralatan melukis, supir angkot dan bus itu laksana kuas di
atas kanvas. Mereka bergerak kiri kanan dan berhenti sesuka hati. Cape
deh...
Keadaan ini justru sangat kontras dengan kota seperti Bali yang hampir
tidak ada angkot dan becak, yang terbukti bahwa jalanan mereka lebih rapih dan
lancar. Masalah becak dan angkot di Medan sepertinya cocok masuk agenda rapat
dan perhatian pejabat pemerintah ini.
“Permisi Pak Presiden, Pak Bupati, atau Pak Walikota Medan, atau siapa
pun yang berjabatan tinggi di Medan, bisa gak kita niru Bali atau Surabaya???
Ayo donk!”
(semoga aku gak ditangkap)
..hehe..
Di Medan kita harus jago dan ahli
mengatasi tingkah-tingkah super manusianya terutama dalam berkendaraan. Kita
harus ahli nyelip sana nyelip sini, baik bermotor atau pun bermobil. Di jalanan
kita harus berani karena bakal banyak orang nantangin kita. Tatapan mata yang
bengis akan kerap terjadi. Kita jangan segan-segan klakson sana - klakson sini.
Dan, yang terpenting, kita harus jago negosiasi dengan polisi. Mungkin ini lah
mengapa banyak sekalian pujian bernada “Ini
dia Supir Medan”.
Bagaimana? Menarik kan kota
Sisingamangaraja ini? Hehehe
Mungkin ada di antara anda
(terutama orang Medan sendiri atau terutama tukang becak dan supir angkot) yang
mengatakan “Ahhh, sok tau kau!”; “Ahhh, gak benar itu, berlebihan!”; “Ahhh,
memang kau sendiri gimana??!!” dan lain sebagainya.
Baik lah, itu sah-sah saja. Itu semua cuma pendapat saya yang lahir
dan besar di Medan, yang (setidaknya) sudah merasakan jalan-jalan luar kota.
Saya ini cuma fotografer amatir yang mencoba menulis dan berbagi foto dan
karya. Kalau anda tidak setuju, baiklah, tapi buktikan dengan attitude anda di jalan bagaimana seharusnya. OKE?
|
"gak ada polisi, MAJU TERUS PANTANG MUNDUR" |
|
Ini arah jalannya kemana sih??! |
|
Jalan berantakan!
Tanda panah: "Dengan ini diriku tidak butuh helm lagi!" |
|
"Helm bukan gaya gue! Lawan arus gue banget!" |
|
Pakaian TIDAK Mencerminkan Sikap.
Jadi, jangan salahkan Jupe atau DP jika konsernya 'gitu' |
|
Tarti = Tarik Tiga |
|
Hipotesis H1: Harga Kendaraan yang Dimiliki Berbanding Lurus dengan Attitude dan Gaya Hidup |
^_^
ada protes???
|
This is MEDAN |
sedikit tulisan original dari:
Josep T Sianturi